Ambon, Marinyo.com- Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menghimbau semua pihak untuk mewaspadai potensi La Nina yang akan melanda wilayah Indonesia.
Hal tersebut diperkuat dengan pengamatan yang dilakukan baik BMKG, serta badan iklim lainnya yaitu National Oceanic And Atmospheric Administration (NOAA) Amerika, Japan Meteorological Agency (JMA) Jepang dan Bureau of Meteorology Australia pada awal Oktober yang mengidentifikasi bahkan memastikan bahwa La Nina pada level moderat benar-benar mulai terjadi.
Menurut Kepala BMKG, bahwa dampak La Nina dapat memicu curah hujan yang jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi normal.
“Di prediksi akhir tahun ini, anomali suhu muka laut di samudra pasifik akan mencapai minus 1 derajat celsius bahkan lebih. Yang artinya mencapai fase atau kondisi moderat,” ungkap Dwikorita saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Antisipasi Bencana Hidrometerologi dan Gempa Bumi-Tsunami Tahun 2020-2021, Rabu (7/10/2020).
Fenomena La Nina ini, kata Dwikorita telah diamati selama dua bulan berturut-turut. Fenomena tersebut, jelasnya, diakibatkan adanya anomali negatif suhu muka air laut yang akhirnya berdampak terjadinya aliran massa udara basah yang kuat dari arah Samudera Pasifik bagian tengah Ekuator menuju Kepulauan Indonesia.
“Dampak lanjutnya adalah meningkatkan penguapan atau pasokan uap air di wilayah Kepulauan indonesia, sehingga curah hujan bulanan di wilayah kita meningkat,” papar Dwikorita.
Berdasarkan peta kondisi La Nina, jelas Dwikorita, pada bulan September, Oktober dan November mendatang menunjukan curah
hujan bulanan semakin besar bahkan semakin melampaui 40%.
“Di prediksi mulai Oktober ini sampai November, dampak La Nina ini akan mengenai hampir di seluruh wilayah Indonesia, yaitu dengan curah hujan intensitas atau curah hujan lebat kecuali di Sumatera,” ungkap Dwikorita.
Menyikapi fenomena La Nina ini, Dwikorita pun menyampaikan, perlunya kewaspadaan terhadap kondisi hujan di atas normal pada Oktober hingga Desember mendatang.
“Karena ini ketahuannya sudah Oktober, baik dideteksi oleh Amerika, Jepang, Australia dan Indonesia, maka kami terpaksa mengajak semua pihak untuk bersiap. Ini sudah di depan mata kita, Oktober, November sebagian besar wilayah Indonesia kecuali Sumatera akan mengalami curah hujan bulanan yang tinggi yakni 40 persen jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi normal, sehingga kita perlu segera berembuk bagaimana caranya terwujud zero victim,” harap Dwikorita.
Selain fenomena La Nina, potensi bencana gempa bumi dan tsunami juga masuk dalam pembahasan dalam Rakornas.
Dwikorita juga menjelaskan terkait trend kejadian gempa bumi sejak tahun 2008-2019.
“2008-2016 trendnya itu rata-rata dalam 1 tahun terjadi 5.000-6.000 kali. Dan di tahun 2017 meningkat lebih dari 7.000 kali kejadian gempa bumi dengan berbagai kekuatan setiap tahunnya,” ungkapnya.
Di 2018, kata Dwikorita trendnya masih mengalami peningkatan yakni, 11.920 kali.
“Di 2019 trendnya masih diatas 11.000 yaitu 11.588 kali kejadian gempa bumi dengan berbagai kekuatan dalam 1 tahun,” ucapnya.
Dwikorita menjelaskan, sebagian besar tsunami di Indonesia dipicu oleh gempa bumi. Namun demikian, berdasarkan data dan fakta menunjukan bahwa, tsunami itu tidak hanya dipicu oleh gempa bumi.
“Meskipun kurang lebih 90% dipicu oleh gempa bumi. Tetapi trendnya sejak 2018 mulai terjadi kejadian tsunami yang diakibatkan oleh gunung api,” ungkapnya, sembari menambahkan, zona- zona rawan tsunami akibat gunung api sebagian besar berada di Indonesia Timur yakni, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku Utara, Maluku sampai wilayah yang berdekatan Papua Barat. Selain wilayah Indonesia Timur, Salah satu wilayah khusus rawan tsunami, ada di Selat Sunda.
Dirinya berharap, bersama dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dapat mengidentifikasi berbagai masalah. (DAS)
Komentar